Sekitar pukul 10 pagi saya berangkat dari Nusa Dua menuju
Ubud untuk melihat langsung Upacara Pelebon Puri Agung Ubud. Acara ini sangat langka
dan sayang untuk dilewatkan.
Jalur lalu lintas dari arah Jl. Raya Pengosekan ke Jl. Wenara Wana Monkey Forest menuju ke Ubud Market telah direka-yasa demi kelancaran upacara Pelebon Puri
Agung, sehingga saya langsung mengarah ke Peliatan melalui Jl. Raya Andong menuju ke Setra (Lokasi Pemakaman) tepat di ujung Jl. Raya Ubud.
Di lokasi
pemakaman telah banyak berkumpul warga masyarakat yang ingin menyaksikan acara
Pelebon Puri Agung.
Pada hari itu, ternyata tidak hanya satu kremasi yang
dilaksanakan, tetapi ada tiga upacara Pelebon. Saya semakin antusias untuk menyaksikan dan langsung berbaur di tengah keramaian. Cuaca yang sangat cerah –Panas yang sangat terik, tidak menjadi halangan sama sekali… Ritual seperti ini belum tentu ada dalam setahun sekali, bahkan mungkin lebih…
dilaksanakan, tetapi ada tiga upacara Pelebon. Saya semakin antusias untuk menyaksikan dan langsung berbaur di tengah keramaian. Cuaca yang sangat cerah –Panas yang sangat terik, tidak menjadi halangan sama sekali… Ritual seperti ini belum tentu ada dalam setahun sekali, bahkan mungkin lebih…
Bagaikan wartawan dari Antah-berantah News, saya mulai mengabadikan
setiap momen yang menarik menurut mata dan lensa saya. Pelebon dari Puri Agung
Ubud belum di mulai, tetapi satu iring-iringan yang mengusung Bade dan Lembu yang
tidak terlalu besar namun megah terlihat memasuki lokasi. Setelah serangkaian
ritual terakhir selesai dijalankan, jenazah yang berbaring di dalam Lembu yang
tidak sedikit biaya untuk mempersiapkannya dibakar. Hanya beberapa menit semua
telah terbakar habis.
Ketika dari kejauhan terdengar kembali suara Gamelan Gong,
seorang ibu muda yang cantik dengan kebaya khas Bali menegur saya, “There’s a
priest will be cremated too…” sambil senyum penuh tanya, “emhh, do you speak English or..?”
Saya tersenyum, “Tyiang nak Indonesia saking Manado!” Dan kami tertawa… “Kadenan
nak Korea...!” lanjutnya –Ow, ternyata ni ibu penggemar K-Pop… Kaga salah dech,
gue kan mirip Sule!
Dukungan dari berbagai instansi juga terlihat kompak
bahu-membahu memperlancar jalannya acara. Pecalang, Polri dan TNI turut siaga
dalam pengamanan, kabel listrik dan telepon yang melintang di tengah jalan dilepas
agar Bade Pelebon tidak tersangkut, beberapa unit pemadam kebakaran juga siap
di lokasi sebagai antisipasi kejadian yang tak diharapkan selama acara
berlangsung.
Beberapa menit setelah kremasi jenazah sang Pendeta,
terdengar lagi suara Gamelan khas Bali yang bertabuh sangat enerjik. Tidak
hanya saya yang lari menuju ke suara gamelan itu, tetapi ratusan photographer dan videographer dari
berbagai arah berebut angle untuk merekam peristiwa yang sangat kolosal. Saya terlambat untuk melihat iring-iringan terdepan, tetapi Lembu berwarna ungu kehitaman setinggi 7.5
meter dipikul puluhan orang bergerak mantab memasuki lokasi Setra membuat mata
saya hampir copot dan dagu melorot… Ohh my Gosh!…

Puncak Acara Pelebon di Puri Agung Ubud pada tanggal 1 November 2013,
merupakan ritual yang sangat besar, mewah dan sakral yang hanya diselenggarakan
oleh keluarga kerajaan di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Tjokorda Istri Sri Tjandrawati
yang wafat pada tanggal 14 Oktober 2013 di Singapura karena sakit adalah
istri dari Pelingsir (Pemimpin Keluarga Besar) Puri Ubud, Kabupaten Gianyar
Tjokorda Gde Putra Sukawati.
Sejak beliau berpulang pada usia 59 tahun, Keluarga Puri
Agung Ubud yang dibantu ribuan orang terlibat dalam berbagai persiapan dan
rangkaian upacara sakral selama sekitar 15 hari, termasuk pembuatan Bade
Pelebon Tumpang Sia (Menara Kremasi susun 9) setinggi 26 meter dengan berat
mencapai 6 Ton yang dipanggul oleh warga sebanyak 4000 orang menuju Setra (Pemakaman) yang
berjarak hampir 1 Km dari Puri Agung Ubud, dan Lembu (Sapi) setinggi 7,5 meter juga
diusung ke Setra untuk kemudian dibakar
beserta jenazah.

Respect and proud of our culture!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar